Jumat, 12 Juni 2015

Kualitas Air Sungai di Banjarmasin



A.      Kualitas air sungai di Banjarmasin berdasarkan hasil penelitian
Kota Seribu Sungai, Sudah sewajarnya jika sebutan tersebut diberikan masyarakat untuk Banjarmasin. Kota yang dilalui oleh dua sungai terbesar di Pulau Kalimantan, yaitu Sungai Martapura dan Sungai Barito sehingga kota ini pun memiliki berpuluh-puluh sungai, anak sungai dan bahkan kanal-kanal. Sungai memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Banjarmasin. Pasar Terapung yang sangat khas Banjarmasin menjadi bukti penting eksistensi sungai di tengah kehidupan masyarakat. Aktivitas perdagangannya ‘terapung’, baik penjual maupun pembeli bertransaksi diatas sungai dengan menggunakan perahu khas Banjar, Jukung.
Secara historis, Banjarmasin bahkan memiliki peran yang sangat strategis dalam perdagangan antar pulau karena merupakan wilayah pertemuan Sungai Barito dan Sungai Martapura. Dimasa kolonial Belanda, Banjarmasin dengan aliran Sungai Barito yang luas menjadi pelabuhan keluar-masuk barang dari Singapura dan Jawa menuju ke pantai timur Kalimantan. Selain itu, secara internal, Suku Banjar banyak memanfaatkan keberadaan sungai tersebut beserta anak sungainya sebagai jalur transportasi utama dengan jukung sebagai ‘kendaraan’ utama dalam pergerakan masyarakat. Pengaruhnya, sebagian besar aktivitas dan permukiman masyarakat Banjarmasin berkembang di sekitar sungai dengan karakteristik rumah mengapung, atau mereka sering menyebut sebagai Rumah Lamin.
Penduduk yang bermukim di sepanjang aliran sungai memanfaatkan sungai sebagai prasarana transportasi. Selain itu terdapat pula lanting atau batang, yaitu sejenis rakit yang terbuat dari kayu yang berfungsi sebagai tempat untuk MCK serta sebagai dermaga untuk menambatkan jukung.
Namun dalam perkembangannya, keunikan Banjarmasin tergerus oleh perkembangan zaman. Simbiosis kehidupan yang terjadi antara masyarakat dan sungai tidak selamanya berjalan secara mutualisme. Sungai yang ada di Banjarmasin kini mengalami pergeseran orientasi dimana sungai tidak lagi menjadi ‘muka depan’ aktivitas namun justru menjadi ‘muka belakang’. Perubahan orientasi tersebut secara tidak langsung ternyata memberikan andil besar terhadap perubahan ‘perlakuan’ terhadap sungai, contohnya sungai menjadi lokasi bagi pembuangan sampah rumah tangga serta aktivitas ‘belakang’ lainnya seperti MCK.
Dengan semakin meluasnya kawasan pemukiman penduduk, semakin meningkatnya produk industri rumah tangga, serta semakin berkembangnya kawasan industri memicu terjadinya peningkatan pencemaran pada air sungai. Hal ini disebabkan karena semua limbah dari daratan, baik yang berasal dari pemukiman perkotaan maupun yang bersumber dari kawasan industri dibuang ke sungai. Limbah domestik yang berasal dari rumah tangga, perhotelan, rumah sakit dan industri rumah tangga yang terbawa oleh air sisa-sisa pencucian akan terbuang ke saluran drainase dan masuk ke kanal. Limbah yang dibuang pada tempat pembuangan sampah akan terkikis oleh air hujan dan terbawa masuk ke kanal atau sungai.
Biasanya air sungai atau air sumur sekitar lokasi industri pencemar, yang semula berwarna jernih, berubah menjadi keruh berbuih dan berbau busuk, sehingga tidak layak dipergunakan lagi oleh warga masyarakat sekitar untuk mandi, mencuci, apalagi untuk bahan baku air minum. Terhadap kesehatan warga masyarakat sekitar dapat timbul penyakit dari yang ringan seperti gatal-gatal pada kulit sampai yang berat berupa cacat genetik pada anak cucu dan generasi berikut.
Dari data yang dimiliki WALHI Kalimantan Selatan dari Tahun 2008 sampai saat ini kondisi air sungai di Kalimantan Selatan dinilai sudah tercemar zat berbahaya bagi kesehatan manusia, yakni bisa merusak sel syaraf otak. Zat berbahaya itu antara lain logam berat seperti merkuri, timbal, besi dan air raksa (emas). Air raksa atau merkuri (Hg) adalah salah satu logam berat dalam bentuk cair. Manusia telah menggunakan merkuri oksida (HgO) dan merkuri sulfida (HgS) sebagai zat pewarna dan bahan kosmetik sejak jaman dulu.
Dewasa ini merkuri telah digunakan secara meluas dalam produk elektronik, industri pembuatan cat, pembuatan gigi palsu, peleburan emas, sebagai katalisator, dan lain-lain. Penggunaan merkuri sebagai elektroda dalam pembuatan soda api dalam industri makanan seperti minyak goreng, produk susu, kertas timah, pembungkus makanan juga kadang mencemari makanan tersebut. Bila merkuri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pencernaan, dapat menyebabkan kerusakan akut pada ginjal sedangkan pada anak-anak dapat menyebabkan Pink Disease/ acrodynia, alergi kulit dan kawasaki disease/mucocutaneous lymph node syndrome. Selain itu, juga bisa menyebabkan penyakit saraf, lumpuh, kehilangan indera perasa dan dapat menyebabkan kematian.
”Ada beberapa kasus pencemaran air sungai di Kalimantan Selatan yang diakibatkan oleh kegiatan industri dan penambangan, seperti pembuangan limbah industri ke aliran sungai oleh PT Galuh Cempaka, penambangan emas yang menggunakan merkuri untuk memisahkan emas dengan pasir. Merkuri yang jatuh ke air akan memunculkan reaksi lanjutan (residu) yang jika diuraikan bakteri akan menjadi senyawa beracun bernama metil merkuri (CH3Hg). Apabila merkuri yang jatuh ke air melalui sisa-sisa ikatan tambang emas sampai ke dasar sungai, sifatnya sudah beracun (toksin). Pada manusia, dampaknya bisa mengenai kinerja saraf tubuh. Ambang batas aman kandungan merkuri dalam air hanyalah 0,01 miligram. Di atas itu, sudah bisa dipastikan secara bertahap kandungan ini akan terakumulasi tingkat bahayanya bagi makhluk hidup. Salah satunya melalui rantai makanan di sekitar sungai. Tidak hanya di dalam air saja merkuri membahayakan. Pada saat proses pengolahan ternyata juga cukup rawan bagi kesehatan manusia. Mereka yang membakar emas hasil penambangan menggunakan merkuri, terancam gangguan saluran pernafasan. Saat emas diolah udara yang dihirup masuk hingga menuju paru-paru” Terang Dir Kampanye Walhi Kalimantan Selatan Dwitho Frasetiandy.
Dikatakannya, Seperti yang terjadi di sungai Riam Kiwa, di mana airnya tercemar oleh lemak/minyak dan raksa karena proses penambangan emas. Dalam ketentuan, zat raksa di setiap liter air paling tinggi 0,001, sedangkan lemak/minyak harus nihil atau tidak ada. Namun, di sejumlah titik pada Sungai Riam Kiwa ditemukan zat raksa dan lemak yang melebihi ambang batas. Sampel yang diambil di Pengaron menunjukkan raksa 0,044; Mataraman 0,057; Martapura 0,051 dan Sungai Tabuk 0,051. Sedangkan kandungan lemak/minyak di Pengaron ada 11, Mataraman 1, Martapura 2 dan Sungai Tabuk 0. Semestinya, kandungan lemak/minyak harus tidak ada agar memenuhi standar kesehatan air.
Untuk pencemaran air sungai yang disebabkan oleh proses penambangan, salah satu kasus yang terjadi adalah sistem pembuangan air limbah penambangan oleh perusahaan pertambangan batu bara PT Tanjung Alam Jaya yang menuju Sungai Riam Kiwa, Kabupaten Banjar, Kalsel yang menyebabkan kekeruhan air sangat parah karena banyaknya jumlah sedimen yang terbawa arus dari pertambangan. Tingkat kekeruhan air di sungai itu sudah mencapai 438 miligram per liter. Padahal, toleransinya 400 miligram per liter. Tingkat kekeruhan yang melebihi ambang batas selain mengancam kematian ikan di sungai itu juga menyebabkan terganggunya kesehatan manusia karena air digunakan untuk mandi dan konsumsi sehari-hari. Sedangkan unsur lainnya seperti mangan dan besi masih di bawah ambang toleransi. Kondisi ini memperlihatkan begitu hebatnya tingkat erosi di sekitar sungai dan anak-anak Sungai Riam Kiwa yang diperkirakan akibat kegiatan penambangan batu bara.
Sedangkan di Banjarmasin hampir seluruh sungainya tercemar oleh logam berat. Untuk sungai Martapura dengan 8 titik pantau. Yaitu di perairan muara Sungai Martapura, di atas aliran Sungai Barito, tepatnya di kawasan perairan Pasar Terapung, kawasan perairan dekat PT Wijaya Tri Utama, kawasan perairan di belakang pabrik karet Banua Lima Sajurus, kawasan perairan Simpang Empat Sungai Andai, perairan belakang Banua Anyar tepatnya dekat warung Soto Amat, perairan Sungai Tabuk, serta kawasan perairan belakang Pondok Darul Salam. Di perairan Sungai Martapura inilah ditemukan pencemaran logam berat, yang seluruhnya sudah melampaui ambang batas. Untuk merkuri (Hg) misalnya, sudah mencapai 5,876. Sedangkan untuk pencemaran yang disebabkan pertambangan batubara dan besi (Fe) sebesar 16,209, semestinya batas normalnya hanya 0,3. Timbal (Pb) sudah mencemari sebesar 0,125 untuk batas normalnya hanya 0,3.
Sungai Barito dan Sungai Martapura yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di Kalsel terbukti telah tercemar berbagai unsur logam berat. "Jika dibiarkan tanpa ada komitmen serius untuk menanggulanginya, bukan tidak mungkin kasus minamata kembali terjadi," tutur Rachmadi. Kondisi air sungai mempunyai tingkat kekeruhan tinggi dengan total suspended solid (TSS) mencapai 182-567 mg/l jauh di atas standar 50 mg/l. Kadar DO mencapai 5 mg/l dengan standar -6 mg/l.
Di perairan Sungai Martapura inilah ditemukan pencemaran logam berat, yang seluruhnya sudah melampaui ambang batas. Untuk mercury (Hg) misalnya, sudah mencapai 5,876. Sedangkan batas normalnya hanya sebesar 0,001 saja. Sedangkan untuk pencemaran yang disebabkan pertambangan batubara dan besi (Fe) sebesar 16,209, semestinya batas normalnya hanya 0,3. Timbal (Pb) sudah mencemari sebesar 0,125 untuk batas normalnya hanya 0,3.
Sedangkan pencemaran air sungai oleh tinja atau kotoran manusia, hampir seluruh aliran sungai baik besar maupun kecil yang banyak terdapat di dalam kota Banjarmasin tercemar tinja atau kotoran manusia. Pencemaran dari tinja menjadikan kondisi air sungai mengandung bakteri jenis coli yang cukup membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Bakteri e-coli ini ditenggarai sebagai penyebab terbesar penyakit diare pada bayi, balita, dan anak. Sebenarnya bukan cuma anak-anak yang dikhawatirkan terkena diare, namun juga orang dewasa.
Hampir terlihat di mana-mana air sungai dan air lingkungan pemukiman penduduk tercemar berat tinja manusia, karena kebiasaan warga yang membuang tinja langsung ke sungai. Pencemaran tinja ke air sungai di dalam kota Banjarmasin, selain budaya masyarakat yang sebagian masih suka buang air besar langsung ke sungai, juga akibat "septic tank" atau tempat penampungan tinja rumah penduduk yang tidak memenuhi standar kesehatan lingkungan. "Septic tank" kebanyakan pada rumah penduduk termasuk di kawasan perumahan hanya seadanya, sehingga air tinja mengalir ke mana-mana. Volume tinja yang mencemari lingkungan bisa dihitung untuk setiap orang warga penduduk buang hajat sekitar 60 gram per hari, dengan jumlah penduduk kota Banjarmasin saat ini mencapai 700 ribu jiwa.
Selain itu, Kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kota Banjarmasin sendiri juga mengungkapkan akibat begitu tingginya tingkat pencemaran limbah di sungai maka kandungan oksigen dalam air Sungai Barito dan Martapura terus berkurang. Akibat dari kandungan oksigen dalam air (DO) terus berkurang maka beberapa jenis ikan air Sungai Martapura kini menghilang. Selain itu, perilaku hidup sehat masyarakat juga masih sangat rendah, yang diantaranya tercermin dalam kurang bersihnya pengelolaan bahan makanan serta buruknya penatalaksanaan bahan kimia dan pestisida yang kurang memperhatikan aspek kesehatan. Sebaikanya sebelum air tersebut di konsumsi di endapkan terlebih dahulu, kemudian di rebus hingga mendidih 100 derajat celcius selama satu menit, dengan demikian diharapkan bakteri yang ada dalam air tercemar tersebut bisa mati. Jadi air sungai Barito tersebut bisa dapat di konsumsi kembali.
Selain tercemar pendulangan emas, Sungai Barito juga terkadang terintrusi air laut sehingga menyebabkan air sungai tersebut asin, hal ini terjadi pada musim kemarau. Apabila air asin sudah masuk ke pipa, maka tidak mungkin lagi dijadikan sebagai sumber bahan baku yang saat ini sebagian masih digunakan PDAM Banjarmasin dan PDAM yang ada diKalimantan. Kadar garam Sungai Barito yang diambil contohnya yaitu dekat pelabuhan Trisakti Banjarmasin sudah mencapai 4300 miligram per liter, suatu kadar garam yang jauh di atas ambang batas toleransi untuk diolah menjadi air bersih. Kadar garam air sungai yang bisa diolah menjadi air bersih PDAM Banjarmasin paling tinggi hanya sekitar 250 miligram per liter. Menurut Muslih ketika ditemui disela-sela kegiatan pasar murah ibu-ibu PDAM Banjarmasin, kenaikan kadar garam di Sungai Barito tersebut juga mempengaruhi kadar garam anak sungai Barito yakni Sungai Martapura atau Sungai Bilu, di mana terdapat lokasi pengambilan air baku PDAM Banjarmasin.
Berdasarkan hasil tes laboratorium PDAM, kandungan kadar garam di Sungai Bilu di lokasi pengambilan air baku PDAM tercatat 1650 miligram per liter, masih sekitar 50 miligram per liter. Akibat lonjakan drastis kadar garam terpaksa pengambilan air baku dari Sungai Bilu dihentikan operasinya selama tiga jam terhitung, tetapi sejak pagi sudah dioperasikan lagi karena air surut hingga kadar garam berkurang. Meskipun demikian penghentian pengambilan air baku Sungai Bilu yang berkapasitas 500 liter per detik, tidak mempengaruhi suplai air bersih kepada masyarakat, karena pengambilan air baku di Irigasi Riam Kanan dan Sungai Tabuk tetap berjalan normal. Kepada masyarakat, Muslih mengimbau untuk sementara tidak memanfaatkan dulu air sungai berkadar garam tinggi itu untuk konsumsi, karena bila tetap digunakan maka akan sangat mengganggu kesehatan, khususnya penyakit diare dan kolera. Cepatnya kadar garam masuk ke sungai di Banjarmasin itu diperkirakan karena debit air di hulu sungai terus berkurang pada saat kemarau, sehingga tekanan ke hilir lemah akhirnya air laut masuk ke dalam sungai.
Selanjutnya sistem pengelolaan Air di daerah pasang surut (Barito Kuala, Kalimantan Selatan), yaitu tipikal masalah yang dihadapi di lokasi program SPFS di Barito Kuala, yang terletak di daerah pasang surut adalah pengaruh dari air asam yang masuk dan meracuni tanaman padi. Untuk mengatasi hal ini, petani umumnya menggunakan kapur guna mengurangi keasaman tanah dan air. Metode ini dinilai tidak berkelanjutan karena penggunaan kapur bisa merubah sifat fisik tanah. Selain masalah intrusi air asam, petani juga menghadapi masalah ketidak andalan ketersediaan air karena tidak tersedia sistem irigasi. Saat ini, sumber air irigasi hanya berasal dari aliran air pasang sungai Barito. Air akan mengalir ke sawah hanya pada saat pasang naik. Dalam kondisi seperti ini, produktivitas padi hanya mencapai 1.9 ton per hektar. Demikian pula, tidak sembarang varietas padi dapat tumbuh di tipe lahan ini, hanya varietas lokal yang dapat beradaptasi dengan kondisi ini. Sebagai upaya untuk mengatasi situasi ini secara berkelanjutan, SPFS mengembangkan suatu sistem pengelolaan air untuk mengelola intrusi air asam serta untuk mengelola air di lahan. Dalam hal ini, satu bidang lahan akan dikelola sebagai satu unit hidrologis. Setiap unit hidrologis akan dilengkapi dengan pintu pengatur air dan saluran-saluran air. Dengan mengoperasikan pintu-pintu, air akan mengalir ke lahan pada saat pasang naik hingga mencapai tinggi yang diharapkan. Selanjutnya, pintu air akan ditutup untuk mempertahankan tinggi muka air khususnya pada saat air mulai surut. Pintu-pintu air juga akan digunakan untuk mencegah intrusi air asam ke lahan sawah. Pengalaman menunjukkan, setelah diterapkan metode ini, produktivitas padi dapat meningkat hingga 2.7 ton per hektar.
Hasil penelitian ternyata kandungan oksigen dalam air tersebut di bawah ambang batas. Sebagai contoh saja, kandungan udara dalam air yang ideal 6 miligram (Mg) per liter, tetapi nyatanya di sepuluh titik lokasi yang diteliti kondisinya sudah memprihatinkan. Akibatnya banyak ikan yang tidak bisa lagi bernapas lantaran oksigen yang kurang itu. Berkurangnya oksigen tersebut tersebut karena begitu tingginya tingkat pencemaran di sungai, seperti pencemaran limbah rumah tangga, limbah industri, serta limbah alam lainnya. Masyarakat Banjarmasin terbiasa membuang sampah ke sungai, sementara 23 industri kayu dan industri lainnya skala besar di pinggir sungai juga dinyatakan positip mencemari air dikedua sungai tersebut.
Pencemaran limbah demikian mengakibatkan limbah itu harus diproses oleh jasad organik dalam air. Jasad-jasad dalam air yang memproses limbah air tersebut ternyata memerlukan oksigen cukup besar pula akhirnya jumlah oksigen di dalam air terus berkurang. Dampak kian berkurangnya jumlah oksigen tersebut adalah menghilangnya beberapa jenis ikan terutama ikan khas Sungai Martapura seperti kelabau, sanggang, lampam, jelawat, dan ikan puyau.
Berdasarkan penelitian tersebut kandungan oksigen di dalam air sungai yang diteliti seperti di Sungai Basirih kandungan udaranya mencapai 5,36 Mg/L, air Sungai Mantuil 5,8 Ml/L, air Sungai pelambuan 5,8 Mg/L, air Sungai Kuin Cerucuk 4,8 Mg/L, air Sungai Kayutangi 4,78,Ml/L, air Sungai Banua Anyar 4,79 Ml/L, air Sungai Bilu 5,03 Ml/L, air Sungai Baru 4,74 Ml/L, serta air Sungai Muara Kelayan 4,79 Ml/L. Sungai-sungai kecil yang diteliti itu merupakan anak sungai Martapura, sedangkan Sungai Martapura sendiri adalah bagian dari Sungai Barito. Selain kandungan udara yang terus berkurang ternyata kandungan besi juga ternyata terlalu tinggi, idealnya hanyalah 0,3 Ml/l.
Hasil penelitian kandungan besi yang ada seperti di sungai Basisih terdapat kandungan besi 1,1 Mg/L, air Sungai Mantuil 1,91 Mg/L, air Sungai Pelamuan 1,5 Mg/, air Sungai Suaka Insan 1,65 Mg/L, air Sungai Kuin Cerucok 2,08 Mg/L, di air Saungai Kayutangi 1,76 Mg/L, dan air Sungai banua Anyar 1,84 Mg/L. Berdasarkan catatan lain bukan hanya kandungan besi, yang tinggi di sungai Banjamasin juga kandungan logam berat lainnya yang kalau tidak diantisipasi berbahaya bagi kesehatan, seperti kandungan tembaga, maupun kandungan timah hitam.
Jadi, melihat kondisi sungai yang demikian, maka berbagai kalangan menganjurkan agar pemerintah lebih serius menangani sungai dan membuat peraturan daerah (Perda) tentang sungai yang memberikan sanksi berat kepada wargamaupun industri membuang limbah ke sungai.
Dengan upaya demikian diharapkan mampu mengembalikan fungsi sungai bagi kehidupan masyarakat Banjarmasin sekaligus memperkuat posisi kota Banjarmasin yang dijuluki dengan kota air.
B.       Dampak yang bisa ditimbulkan oleh pencemaran air terhadap kesehatan
Sepanjang sungai semakin tidak terawat, masyarakat semakin buruk dalam memperlakukan sungai. Hal ini menyebabkan kualitas air semakin menurun ditambah lagi terjadinya pencemaran air. Hal tersebut mengubah wajah sungai menjadi tidak teratur, kotor dan bahkan tidak sehat yang mempengaruhi kesehatan masyarakat yang ada disekitar sungai.
Dampak dari pencemaran tersebut dikhawatirkan pula mengganggu kehidupan masyarakat, khususnya warga yang tinggal di bantaran sungai karena hampir sebagian besar masyarakat masih mengandalkan air sungai untuk minum dan memasak. Sebagaimana diketahui, hingga saat ini warga Banjarmasin, terutama yang tinggal di pinggiran sungai masih sangat tergantung dengan keberadaan sungai untuk melakukan aktifitas sehari-hari baik itu, mandi, mencuci, memasak dan membuang air besar. Bahkan beberapa warung yang berada di pinggir sungai, masih sering menyuci beras disungai tersebut secara langsung, padahal di sungai itu juga warga lainnya membuang air besar. Itu dapat menyebabkan kandungan bakteri coliform yang berasal dari tinja manusia tersebut sangat tinggi di dalam air kedua sungai tersebut dan kandungannya jauh berada dari ambang batas toleransi. Bila air yang tercemar bakteri coliform tersebut dikonsumsi tanpa proses pemanasan yang sesuai maka bisa menimbulkan penyakit diare serta infeksi pencernaan. Dan juga pengaruh yang bisa dirasakan masyarakatBanjarmasin dengan kandungan besi yang tinggi tersebut banyak warga yang mengalami kerusakan gigi, tambahnya seraya menyebutkan kandungan besi itu lebih banyak karena faktor alam yang berawa-rawa.
Contohnya terlihat pada gambar dibawah ini :

C.      Solusi dan cara pengendalian pencemaran air di Banjarmasin
Untuk mencegah agar tidak terjadi pencemaran air, dalam aktivitas kita dalam memenuhi kebutuhan hidup hendaknya tidak menambah terjadinya bahan pencemar antara lain tidak membuang sampah rumah tangga, sampah rumah sakit, sampah/limbah industri secara sembarangan, tidak membuang ke dalam air sungai, danau ataupun ke dalam selokan. Tidak menggunakan pupuk dan pestisida secara berlebihan, karena sisa pupuk dan pestisida akan mencemari air di lingkungan tanah pertanian. Tidak menggunakan deterjen fosfat, karena senyawa fosfat merupakan makanan bagi tanaman air seperti enceng gondok yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran air.
Pencemaran air yang telah terjadi secara alami misalnya adanya jumlah logam-logam berat yang masuk dan menumpuk dalam tubuh manusia, logam berat ini dapat meracuni organ tubuh melalui pencernaan karena tubuh memakan tumbuh-tumbuhan yang mengandung logam berat meskipun diperlukan dalam jumlah kecil. Penumpukan logam-logam berat ini terjadi dalam tumbuh-tumbuhan  karena terkontaminasi oleh limbah industri. Untuk menanggulangi agar tidak terjadi penumpukan logam-logam berat, maka limbah industri hendaknya dilakukan pengolahan sebelum dibuang ke lingkungan.

Kesimpulan
Berdasarkan pengkajian diatas, maka dapat disimpulkan :
1) Perilaku masyarakat dan industriawan dalam membuang limbah dan kotorannya ke sungai merupakan sumber/faktor penyebab pencemaran lingkungan perairan sungai, sehingga sungai mengalami pendangkalan dan penyempitan yang berakibat lebih lanjut timbulnya banjir karena daya dukung sungai untuk menampung dan mengalirkan air hujan ke laut sudah mulai berkurang.
2) Konsepsi sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah telah menjadi adat kebiasaan dan sistem nilai budaya masyarakat di perdesaan maupun di perkotaan. Perilaku menyimpang ini mempunyai andil terhadap terjadinya banjir yang setiap saat mengancam eksistensi manusia.
3) Pencemaran air sungai sangat besar pengaruhnya bagi hajad hidup orang banyak karena berbagai kepentingan terkait di dalamnya, antara lain untuk cuci, mandi, sumber air minum, transportasi, perikanan dan irigasi sawah. Bahkan sungai juga dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, olah raga dan rekreasi.
 Saran
Saran yang penulis sampaikan adalah sebagai berikut:
  1.   Sebaiknya kita harus berhati- hati dalam menggunakan air karena air itu ada yang terpolusi dan ada yang tidak 
  2. Jagalah air di lingkungan rumah dan sekitar agar tetap bersih dan terhindar dari pencemaran air 
  3. Jangan membuang sampah ke sungai atau kolam, buanglah sampah pada tempatnya agar tidak terjadi pencemaran air. 


DAFTAR PUSTAKA
Soemarwoto, Otto. 1997. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangungan, Penerbit Ikrar Mandiriabadi, Jakarta.
 Pu, Raditya. Waterfront City, Banjarmasin Sebuah Upaya Inovatif Pengembalian Citra Kota” .Kepala Bappeda Banjarmasin.
Warlina. Pencemaran Air, rudyct.com/PPS702-ipb/08234/lina_warlina.pdf, dikunjungi 8/11/2015
Anonim C. 2008. Lingkungan. http://tridewi.blogspot.com/2008/05/dampak-pencemaran-air-di-lingkungan.html, dikunjungi 8/11/2015.
Anonim D. Penanggulangan Pencemaran Airhttp://www.chem-is-try.org/materi_kimia/kimia-lingkungan/pencemaran-,dikunjungi 8/11/2015


 

1 komentar: