PAPER
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kematian Bayi”
Dosen Pengampu: Dr. Rosalina Kumalawati, M.Si.
Disusun
Oleh :
SARI ANGGRIANI
A1A513093
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Faktor utama demografi yang mempengaruhi
pertumbuhan penduduk adalah kematian dan kelahiran. Kematian adalah hilangnya
tanda-tanda kehidupan manusia secara permanen. Kematian bersifat mengurangi
jumlah penduduk dan untuk menghitung besarnya angka kematian caranya hampir
sama dengan perhitungan angka kelahiran. Banyaknya kematian sangat dipengaruhi
oleh faktor pendukung kematian (pro mortalitas) dan faktor penghambat kematian
(anti mortalitas). Kelahiran (Natalitas) Kelahiran bersifat menambah jumlah
penduduk. Ada beberapa faktor yang menghambat kelahiran (anti natalitas) dan
yang mendukung kelahiran (pro natalitas).
AKB (Angka Kematian Bayi) merupakan
salah satu indikator keberhasilan pembangunan kesehatan yang telah dicanangkan
dalam Sistem Kesehatan Nasional dan bahkan dipakai sebagai indikator sentral
keberhasilan pembangunan kesehatan di Indonesia (Bachroen, 1988). Derajat kesehatan masyarakat dapat diukur dengan
berbagai indikator kesehatan, antara lain angka kematian perinatal, angka
kematian bayi, dan angka kematian balita. Studi mortalitas adalah
bagian dari komponen Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang mengumpulkan
data kematian di masyarakat Indonesia. Melalui survei kesehatan dapat diketahui
pola penyakit penyebab kematian dan besaran permasalahan di masyarakat, dan
dapat menunjukkan status kesehatan masyarakat. Sampai saat ini data kematian
yang terdapat pada suatu komunitas hanya diperoleh melalui survei, karena
sebagian besar kematian terjadi di rumah dan sistem pencatatan dan pelaporan
penyebab kematian belum teratur. Data kematian yang diperoleh dari rumah sakit,
Puskesmas perawatan, serta fasilitas kesehatan lainnya hanya merupakan kasus rujukan
yang tidak dapat mewakili kasus kematian di masyarakat.
Angka
harapan hidup merupakan salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Semakin
besar angka harapan hidup maka taraf hidup penduduk juga akan meningkat. Angka
harapan hidup merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan program pemerintah
dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga sangat penting untuk
dilakukan kajian lebih lanjut tentang metode apa yang tepat untuk menghasilkan
angka harapan hidup (BPS Jakarta, 2005).
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang sebelumnya telah
dipaparkan, maka pada paper ini penulis akan membahas 2 permasalahan tentang
mortalitas yaitu: Faktor-faktor apa
saja yang mempengaruhi kematian bayi?
1.3. Tujuan Penulisan
Penulisan
paper ini bertujuan untuk: Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kematian bayi.
BAB II
PEMBAHASAN
Ditingkat ASEAN, angka kematian bayi di Indonesia 35 per 1000 kelahiran hidupya itu hampir 5 kali lipat dibandingkan dengan angka kematian bayi Malaysia, hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan Thailand dan 1,3 kali dibandingkan dengan Philipina. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, pada skala nasional juga masih terjadi kesenjangan angka kematian bayi antar propinsi dengan variasi sangat besar yaitu tertinggi di Propinsi Nusa Tenggara Barat mencapai 103 per 1000 kelahiran hidup dan terendah di Propinsi D.I Yogyakarta mencapai 23 per 1000 kelahiran hidup (Depkes, 2004), Propinsi Sumatera Barat sebesar 42 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Sumbar, 2005).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kematian bayi yaitu:
1. Faktor Ibu
Kematian bayi sebagian besar dimiliki oleh ibu yang dapat dikatakan sebagai umur aman dalam kehamilan yaitu antara umur 21-34 tahun dan paritas yang cukup. Pada umur aman untuk kehamilan dengan paritas yang cukup ternyata ada suatu fenomena yang melatarbelakangi kejadian suatu penyakit yang secara tidak langsung mempengaruhi kondisi bayi, salah satunya riwayat kesehatan ibu yang lalu (misalnya alergi, hipertensi) dan riwayat keluarga (misalnya hipertensi, diabetes, riwayat keturunan kembar).
Selain
itu ada faktor yang diluar kondisi ibu saat hamil yang kemungkinan bisa
mempengaruhi kondisi bayi, diantaranya beban fisik, konflik keluarga, masalah
ekonomi, serta kurangnya perhatian dan kasih sayang dari keluarga. Disatu sisi,
banyak bayi yang lahir prematur dan bahkan BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah).
Dalam penelitian ditemukan bahwa sebagian besar jarak kelahiran kurang dari 2
tahun. Dengan jarak kelahiran yang kurang dari 2 tahun, kesehatan fisik dan
rahim ibu masih butuh cukup istirahat dan ada kemungkinan ibu masih menyusui.
Adapun hal yang melatarbelakangi mengapa ibu hamil dengan jarak kurang dari 2
tahun, antara lain suami ingin segera mempunyai keturunan lagi dan adanya
riwayat abortus. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian di Naragwal,
India Utara. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kematian neonatal dan kematian
bayi tertinggi terjadi ketika jarak kelahiran kurang dari 1 tahun (Istiarti,
2000).
Informasi
yang berhubungan dengan perawatan kehamilan sangat dibutuhkan oleh semua ibu
hamil dan keluarganya. Sebagian besar tingkat pendidikan ibu tamat SMA. Adapun
fenomena yang ditemukan di lapangan berkaitan dengan tingkat pendidikan yaitu
anak yang dilahirkan merupakan anak pertama yang dimiliki oleh ibu dengan usia
di bawah 20 tahun sedangkan usia ideal untuk melahirkan antara 21-34 tahun.
Meskipun pendidikan cukup tinggi, jika dilihat menurut usia, kemungkinan
pengetahuan ibu mengenai kehamilan masih sangat rendah dan tidak cukup waktu
untuk mencari pelayanan semaksimal mungkin. Sehingga ibu kurang memperhatikan
kondisinya saat hamil. Hampir separuh lebih kematian bayi dialami pada
masyarakat yang kurang mampu. Dengan demikian kemampuan daya beli dan konsumsi
untuk ibu saat hamil kurang terpenuhi. Akan tetapi, saat pemeriksaan antenatal
mayoritas memeriksakan kehamilannya pada seorang bidan puskesmas ataupun bidan
desa. Karena mereka memenggunakan jam persal. Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Yandrida (2005) di Kabupaten Padang Pariaman tahun 2004. Penelitian
tersebut mengemukakan bahwa sebanyak 75,2% dari kematian neonatal terjadi pada
keluarga miskin. Kebiasaan ibu yang menganggap bahwa kehamilan merupakan hal
biasa memiliki riwayat pendidikan yang rendah serta ekonomi yang rendah.
Sehingga faktor tersebut secara tidak langsung diduga dapat mempengaruhi
kehamilan, proses persalinan dan pasca persalinan.
Kehamilan
ganda atau hamil kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kondisi
ibu yang memiliki kehamilan multipel disertai riwayat kesehatan ibu yang lalu,
seperti hipertensi dan riwayat keluarga, seperti riwayat keturunan kembar,
dapat berisiko terhadap bayi yang dikandungnya. Didapatkan pula pada kehamilan
multipel terdapat bayi lahir sungsang dan kelainan kongenital. Disamping itu
berat badan satu janin kehamilan kembar rata-rata <2500 gr dan prematur.
Hal-hal tersebut diduga dapat menyebabkan kematian pada bayi.
Kebutuhan
nutrisi yang adekuat sangat mutlak dibutuhkan oleh ibu hamil agar dapat
memenuhi kebutuhan nutrisi bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi yang
dikandungnya dan persiapan fisik ibu untuk menghadapi persalinan dengan aman.
Temuan di masyarakat bahwa mereka lebih mementingkan selera dengan mengabaikan
makanan yang dikonsumsinya, misalnya kesukaan ibu yang mengkonsumsi es teh,
kesukaan mengkonsumsi makanan yang berasa asin. Sehingga asupan nutrisi untuk
bayi yang dikandungnya sangat kurang dan dapat berakibat buruk terhadap bayi
yang akan dilahirkannya.
Selain
pola makan yang dihubungkan dengan gaya hidup masyarakat sekarang, ternyata ada
beberapa gaya hidup lain yang cukup merugikan kesehatan seorang wanita hamil
yaitu kebiasaan begadang. Kebiasaan begadang yang dilakukan oleh ibu dapat
mengurangi waktu istirahat terhadap ibu dan bayi yang dikandungnya. Kondisi
seperti ini tidak baik bagi seorang wanita hamil. Kondisi seperti itu
kemungkinan bagi wanita hamil dapat melahirkan bayi yang belum cukup bulan
(bayi prematur) serta dapat pula menyebabkan kematian pada bayi akibat berat
lahir rendah dan diikuti oleh kondisi bayi yang kurang sehat.
Menyusui
sebaiknya dilakukan setelah bayi lahir (dalam waktu 30 menit setelah bayi
lahir) karena daya hisap pada saat itu paling kuat untuk merangsang pengeluaran
ASI selanjutnya (Kamila, 2005). Pada kasus kematian bayi hampir semua bayi
tidak mendapatkan ASI. Hal tersebut diakibatkan karena ASI yang belum keluar
sama sekali saat bayi sudah lahir, ASI yang diproduksi sangat lancar namun bayi
tidak sempat diberi ASI, serta bayi mendapatkan campuran susu formula dari
pihak rumah sakit.
Penyebab
ASI yang tidak bisa keluar diduga karena bayi lahir prematur sehingga kondisi
fisik maupun psikologisnya dapat mempengaruhi pengeluaran ASI, ibu sedang
menderita sakit, ibu yang mengalami depresi, cemas sedang ada masalah, mulut
bayi yang kecil serta kurang mendapat dukungan dari suami atau keluarganya
dalam menyusui bayinya. Sehingga ASI yang diproduksinya kurang lancar atau
bahkan tidak bisa keluar sama sekali.
Pola
pengasuhan bayi yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada bayi, pada hasil
penelitian menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI dengan tingkat
pendidikan rendah ataupun tinggi hasilnya tidak jauh berbeda. Pada tingkat
pendidikan ibu, baik rendah ataupun tinggi, tidak menjamin bahwa pengetahuan
ibu tentang pola pengasuhan bayi sudah cukup baik. Disisi lain informasi yang
diberikan petugas kesehatan seputar kehamilan, terutama mengenai ASI tidak
jelas dan kurang lengkap.
2. Faktor Bayi
Lebih dari 50% kematian bayi yang telah diidentifikasi, bayi yang meninggal adalah bayi prematur. Kematian bayi yang disebabkan karena kondisi bayi sendiri, ternyata tidak lepas dari kondisi ibu saat hamil sehingga menyebabkan bayi prematur. Mayoritas aktivitas ibu saat hamil adalah bekerja berat dan informasi yang didapat saat pelayanan antenatal tidak jelas dan kurang lengkap. Disisi lain kondisi fisik ibu yang menyertai terjadinya kematian bayi prematur karena ibu mengkonsumsi obat, kandungan lemah, kehamilan ganda, dan nutrisi yang kurang mencukupi. Karakteristik demografi ibu yang menyertainya antara lain umur ibu saat hamil, paritas dan jarak kelahiran yang memang berisiko terhadap kehamilan.
Kematian bayi yang diduga akibat kelainan kongenital, dapat terlihat bahwa ibu bayi memiliki risiko terhadap kandungannya. Diantaranya bayi lahir prematur dengan kelahiran kembar, bayi yang meninggal memiliki rahang yang sangat kecil sehingga ASI yang diberikan tidak bisa ditelan secara lancar, disamping itu bayi tersebut mendapatkan susu formula dari pihak rumah sakit. Namun hal ini belum bisa dibuktikan pasti apa penyebab dari kelainan kongenital sendiri.
Dilihat dari riwayat kesehatan ibu, saat akan melahirkan tekanan darah meningkat, serta keadaan jantung bayi mulai melemah, dan kelahiran dilakukan dengan cara seksio sesarea. Dengan demikian, kemungkinan foktor tersebut yang dapat menyebabkan bayi dengan lahir asfiksia dan menyebabkan kematian pada bayi.
3. Pemberi Pelayanan Kesehatan
Ada kemungkinan bahwa kematian bayi yang ditolong oleh tenaga kesehatan memiliki kendala selama pemeriksaan kehamilan hingga proses persalinan, diantaranya alat medis yang kurang lengkap, jarak jauh pada saat persalinan, dan transportasi kurang/terbatas. Disamping itu terdapat faktor dari ibu maupun keluarga yang dapat mempengaruhi pemilihan penolong persalinan, semisal pengambilan keputusan yang tidak atau kurang tepat saat akan melahirkan serta faktor ekonomi dalam keluarga.
Pemeriksaan antenatal telah dilakukan oleh ibu sebanyak lebih dari 4 kali. Namun, usia kelahiran masih belum cukup bulan dan dapat menyebabkan kelahiran prematur dengan berbagai faktor yang mendorong kelahiran prematur terjadi. Adapun kelahiran maturus yang menyebabkan kematian pada bayi. Kematian bayi tersebut terjadi karena kelainan kongenital, BBLR, riwayat kehamilan yang memang berisiko misalnya hipertensi saat hamil. Jika dilihat berdasarkan frekuensinya, pemeriksaan kehamilan sudah sesuai dengan teori yang ada.
Pada setiap kali kunjungan antenatal tersebut, perlu didapatkan informasi yang sangat penting. Dilihat dari hasil penelitian bahwa ibu yang berisiko merasa tidak pernah mendapat informasi yang jelas dan lengkap seputar kehamilan. Kebanyakan ibu yang datang pertama kali ke pelayanan kesehatan hanya untuk mengecek apakah mereka positif hamil atau tidak. Setelah itu tenaga kesehatan hanya menyarankan untuk menjaga kandungannya, makan-makanan yang bergizi. Dari hasil tersebut, informasi yang diberikan masih kurang mendetail. Misalnya tenaga kesehatan memberikan contoh makanan yang bergizi bagi ibu hamil, sehingga ibu hamil tersebut mengetahui jenis makanan apa saja yang seharusnya dimakan dan tidak boleh dimakan.
Fakta lain dilapangan yaitu banyak ibu yang selalu mengiyakan apa yang dikatakan oleh tenaga kesehatan, namun sebenarnya ibu tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh tenaga kesehatan tersebut dan ibu enggan untuk bertanya kembali; apabila hasil pemeriksaan dirasa sudah cukup bagus/apa saja yang dikatakan tenaga kesehatan bahwa ibu dan anak sehat-sehat saja, maka ibu dengan segera meninggalkan pelayanan kesehatan tersebut; jika ibu tidak menanyakan atau lebih aktif bertanya seputar kehamilan, maka tenaga kesehatan tersebut tidak memberikan informasi apapun.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa meskipun pendidikan ibu hamil tamat SMA/sederajat. Namun ibu tidak cukup pengetahuan tentang kehamilan dan proses persalinan. Disamping itu tidak adanya transportasi, dan juga kurangnya ibu atau keluarga untuk mengakses informasi.
Hal tersebut dikarenakan pemeriksaan yang dilakukan hanya sebatas pemeriksaan secara umum saat hamil dan kurang memberikan informasi yang penting seputar kehamilan ibu, ibu tidak begitu menghiraukan apa kata petugas kesehatan. Memperhatikan hal tersebut di atas maka hal yang berhubungan dan kejadian kematian bayi adalah pemeriksaan kehamilan, petugas pemeriksa kehamilan, tidak diberikan ASI kepada bayi. Hal lain yang terjadi adalah faktor penyulit persalinan, penyakit yang diderita bayi, maupun perawatan bayi di rumah, kondisi ibu saat hamil. Ini terbukti menurut data yang diperoleh bahwa faktor penyebab kematian sangat beragam seperti melahirkan sungsang, kelainan sejak dalam kandungan, kondisi ibu saat hamil yang menyebabkan bayi prematur, BBLR, dan asfiksia.
Faktor sosio-ekonomi merupakan faktor penentu mortalitas bayi dan anak. Namun faktor sosio-ekonomi bersifat tidak langsung harus melalui mekanisme biologi tertentu (variabel antar) yang kemudian baru menimbulkan resiko morbiditas kemudian bayi akan sakit yang jika tidak dapat disembuhkan maka akan berujung pada kematian. Penangan terhadap masalah kematian bayi dan anak menurut adanya kerangka konseptual, tentang apa yang mengakibatkan bayi meninggal. Diman mortalitas merupakan masalah pokok pada kerangka tersebut dan hal-hal yang mempengaruhinya adalah faktor sosio-ekonomi.
Peranan infeksi neonatal masih cukup besar dalam kematian perinatal (Budayasa, 2006). Pola penyakit penyebab kematian menunjukkan bahwa proporsi penyebab kematian neonatal pada bulan pertama adalah infeksi (termasuk tetanus, sepsis, pnemonia, diare) sebesar5 7,1 %, prematur dan berat badan lahir rendah (35%), kemudian asfiksia lahir (33,6 %), dan feeding problems sebesar 14,3 % (Sarimawar, 2003). Sebagian besar kematian neonatal akibat infeksi disebabkan oleh infeksi pada tali pusat. Bayi dengan tetanus neonaturum biasanya juga menderita infeksi tali pusat, dimana penyebab utamanya adalah persalinan dan perawatan tali pusat yang tidak bersih (WHO, 1999).
Indonesia termasuk salah satu dari 12 negara dengan estimasi kasus neonatal tetanus yang tinggi. Proporsi kematian karena tetanus neonatorum hasil survei menunjukkan tertinggi diantara penyakit infeksi, yaitu 9,5%. Casefatality rate tetanus sangat tinggi (Sarimawar, 2003). Pengobatannya sulit, namun pencegahan (imunisasi TT ibu hamil) merupakan kunci untuk menurunkan kematian ini, selain persalinan bersih dan perawatan tali pusat yang tepat (WHO, 1999). Kejadian sepsisneo natorum dibeberapa rumah sakit rujukan berkisar antara 1,5% sampai 3,72% dengan angka kematian 37,09% sampai 80,0% (Monintja, 1995).
Risiko infeksi pada bayi baru lahir dapat dibagi menjadi tiga kategori: risiko prenatal, risiko nosokomial dan risiko neonatal. Faktor risiko prenatal meliputi: ketuban pecah dini (KPD) dan infeksi selama kehamilan. Faktor nosokomial yang dapat menjadi predis posisi neonatus terkena infeksi meliputi: lama rawat, prosedur invasif, ruang perawatan penuh, staf perawatan, dan prosedur cuci tangan. Faktor neonatal meliputi: berat badan lahir rendah, jenis kelamin dan kelainan kongenital (Pusponegoro, 2000).
Dari hasil studi SKRT, ibu yang menderita infeksi ketika hamil sebesar 4,6 persen. Hal ini dapat menyebabkan dampak yang besar terhadap ibu sendiri mau pun janin seperti cacat kongenital (infeksi rubella), aborsi spontan atau fetal death (infeksi sifilis), infeksi streptococcus group B, dan berat bayi lahir rendah (Sarimawar, 2003).
Bayi dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko terinfeksi bakteri karena fungsi dan anatomi kulit yang masih imatur dan lemahnya sistem imun. Prajoga (1994) berpendapat bahwa bayi dengan BBLR kemungkinan untuk meninggal pada masa neonatal 20-30 kali dan 17 kali lebih besar sebelum usia satu tahun dari pada bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir normal (Yasman, 2006). Selain itu, bayi laki-laki terpapar 4x lebih sering dari bayi perempuan (Pusponegoro, 2000). Kabir (2001) di Bangladesh menemukan bahwa risiko kematian bayi perempuan (27%) lebih rendah dari pada bayi laki-laki, hal ini disebabkan oleh faktor biologis yang lebih berisiko pada bayi laki-laki.
Angka kematian bayi (Infrant Mortality Rate) merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan tingkat kesehatan masyarakat karena dapat menggambarkan kesehatan penduduk secara umum. Angka ini sangat sensitif terhadap perubahan tingkat kesehatan dan kesejahteraan. Angka kematian bayi tersebut dapat didefenisikan sebagai kematian yang terjadi antara saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun (BPS).
Konsep mati perlu diketahui guna untuk mendapatkan data kematian yang benar. Dengan kemajuan ilmu kedokteran, kadang-kadang sulit untuk memberikan keadaan mati dan keadaan hidup secara klinik. Menurut konsepnya, terdapat 3 keadaan vital yang masing-masing bersifat mutually exclusive, artinya keadaanyang satu tidak mungkin terjadi bersamaan dengan salah satu keadaan lainnya. Tiga keadaan vital tersebut ialah :
1. Lahir hidup ( live birth)
Lahir hidup yaitu, peristiwa keluarnya hasil konsepsi dari rahim seorang ibu secara lengkap tanpa memandang lamanya kehamilan dan setelah perpisahan tersebut terjadi, hasil konsepsi bernafas dam mempunyai tanda-tanda kehidupan lainnya, seperti denyut jantung, denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan otot, tanpa memandang tali pusat sudah dipotong atau belum (Utomo, Budi. 2007:84)
2. Mati (death)
Mati adalah hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup (Utomo, Budi. 2007:84).
3. Mati (fetal death)
Lahir mati yaitu menghilangnya tanda-tanda kehidupan dari hasil konsepsi sebelum hasil konsepsi tersebut dikeluarkan dari rahim ibunya (Utomo, Budi. 2007:84).
Secara
garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi ada dua macam yaitu endogen
dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang dikenal atau yang umum disebut
dengan kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama
setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa anak
sejak lahir, yang duperoleh dari orang tuanya selama dalam kandungan (Badan
Pusat Statistik). Sedangkan kematian bayi eksogen atau kematian post neo-natal,
adalah kematian bayi yang terjadi setelah satu bulan sampai menjelang usia satu
tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan pengaruh
lingkungan sekitar (Badan Pusat Statistik).
Analisis
pola penyakit penyebab kematian dilakukan terhadap 3.441 kasus kematian, yang
terdiri dari kasus kematian perinatal dan kematian 8 hari ke atas. Pola
penyakit penyebab kematian dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Kematian
umum yaitu kematian yang terjadi pada bayi yang pernah lahir hidup (0-7 hari)
dan kematian umur 8 hari ke atas, sebanyak 3.322 kasus kematian.
2. Kematian
perinatal yaitu kematian janin dengan umur kehamilan 22 minggu ke atas
(termasuk bayi lahir mati) sebanyak 115 kasus dan kematian bayi berumur 0-7
hari sebanyak 144 kasus.
Pola
kematian umum dan perinatal dianalisis berdasarkan penyakit utama yang
menyebabkan kematian (underlying cause of death) menurut kelompok umur,
kawasan, tempat tinggal dan jenis kelamin. Underlying cause of death merupakan
sebab terpenting dari penyebab kematian lainnya (direct dan antecedent
cause), intervensi yang dilakukan akan memperpanjang harapan hidup.
Penanganan kesehatan dalam hal ini mencegah terjadinya penyakit dan penyebab
kematian dimasyarakat sangat beragam, tidak saja pada kelompok penyakit
non-infeksi yang sudah menggeser kedudukan sebagai penyebab kematian, tetapi
juga pada kelompok penyakit infeksi yang masih mengancam masyarakat di
pedesaan.
Intervensi
kepada kedua penyakit ini sangat berbeda, dan tampaknya pemerintah masih
membutuhkan waktu yang lama untuk menjalani masa transisi serta ia harus
menanggung beban ganda dalam hal mengatasi penyakit infeksi dan non infeksi.
Faktor tersebut kemungkinan disebabkan belum meratanya kesejahteraan masyarakat
di Indonesia serta akses dan kualitas pelayanan kesehatan yang berbeda antara
masyarakat yang tinggal di perkotaan dan di pedesaan. Kesejahteraan dapat
merubah pola hidup masyarakat (termasuk pola makan, kebutuhan akan perawatan
kesehatan). Lama masa transisi ini pula dipengaruhi oleh situasi kestabilan
negara (stabil keamanan, ekonomi). Apabila Indonesia cepat pulih dari krisis
multidimensional, maka proses transisi juga berjalan lebih cepat untuk mencapai
model di negara maju. Apabila situasi krisis menjadi berkepanjangan, maka bukan
mustahil Indonesia akan mengalami transisi yang berkepanjangan (delayed
epidemiologic transistion) atau bahkan berkembang menjadi protracted
polarized model, di mana penyebab kematian terpolarisasi menjadi dua yaitu
penyakit infeksi dan malnutrisi yang tetap bertahan tinggi bersama-sama dengan
penyakit noninfeksi serta kecelakaan untuk waktu yang cukup lama.
BAB III
Penutup
3.1 KESIMPULAN
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kematian bayi, di antaranya disebabkan oleh ibu, bayi dan pelayanan kesehatan yang kurang baik. Pada umur aman untuk kehamilan dengan paritas yang cukup ternyata ada suatu fenomena yang melatarbelakangi kejadian suatu penyakit yang secara tidak langsung mempengaruhi kondisi bayi, salah satunya riwayat kesehatan ibu yang lalu (misalnya alergi, hipertensi, dan lain-lain) dan riwayat keluarga (misalnya hipertensi, diabetes, riwayat keturunan kembar, dan lain-lain). Selain itu ada faktor yang diluar kondisi ibu saat hamil yang kemungkinan bisa mempengaruhi kondisi bayi, diantaranya beban fisik, konflik keluarga, masalah ekonomi, serta kurangnya perhatian dan kasih sayang dari keluarga.
Kematian bayi yang disebabkan karena kondisi bayi sendiri, ternyata tidak lepas dari kondisi ibu saat hamil sehingga menyebabkan bayi prematur. Mayoritas aktivitas ibu saat hamil adalah bekerja berat dan informasi yang didapat saat pelayanan antenatal tidak jelas dan kurang lengkap. Disisi lain kondisi fisik ibu yang menyertai terjadinya kematian bayi prematur karena ibu mengkonsumsi obat, kandungan lemah, kehamilan ganda, dan nutrisi yang kurang mencukupi. Karakteristik demografi ibu yang menyertainya antara lain umur ibu saat hamil, paritas dan jarak kelahiran yang memang berisiko terhadap kehamilan.
Ada kemungkinan bahwa kematian bayi yang ditolong oleh tenaga kesehatan memiliki kendala selama pemeriksaan kehamilan hingga proses persalinan, diantaranya alat medis yang kurang lengkap, jarak jauh pada saat persalinan, dan transportasi kurang/terbatas. Disamping itu terdapat faktor dari ibu maupun keluarga yang dapat mempengaruhi pemilihan penolong persalinan, semisal pengambilan keputusan yang tidak atau kurang tepat saat akan melahirkan serta faktor ekonomi dalam keluarga.
3.2 SARAN
Hal yang bisa disarankan penulis diantaranya, bagi ibu agar lebih mencari informasi mengenai kehamilan, agar bayi yang dilahirkan sehat dan ibunya pun sehat. Pemenuhan terhadap gizi si bayi baik masih di dalam kandungan maupun setelah dilahirkan agar tetap sehat. Selain itu sebagai orang tua harus benar-benar siap menerima kehadiran bayi yang telah lahir.
DAFTAR PUSTAKA
Agus
Sulistyorini dan
Soenarnatalina Melaniani, 2007. Perbandingan Metode Brass Dengan Metode
Trussell Dalam Menghasilkan Angka Harapan Hidup. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan R.I.
Universitas Airlangga
Arinta Kusuma Wandira Dan Rachmah Indawati,
2012. Faktor Penyebab Kematian Bayi Di Kabupaten Sidoarjo. Departemen Biostatistika Dan Kependudukan
Fkm Unair Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Airlangga
Iramulyasari. 2010. Faktor-Faktor Risiko Prenatal Dan Neonatal Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Talipusat Diruang Neonatus Risiko Tinggi
Irna D anak Rsup
Dr. M. Djamil Padang Tahun 2010 Andalas. Fakultas Keperawatan Universitas Andalas. Padang
Novie E. Mauliku dan Ade Nurjanah. 2009. Faktor-Faktor Pada Ibu Bersalin Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Hiperbillirubin Pada Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009. (Jurnal
Kesehatan Kartika)
Sarimawar
Djaja, Agus Suwandono, Soeharsono Soemantri. Pola Penyakit Penyebab Kematian Di Perkotaandan Pedesaan Di Indonesia,
Studi Mortalitas Survei Kesehatan Rumah Tangga (Skrt) 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar