“STRUKTUR
RUANG KOTA”
DOSEN PENGAMPU
EVA ALVIAWATI, S.Pd., M.Sc.
NEVY FARISTA ARISTIN, S.Pd., M.Sc.
Oleh
Kelompok 5
LAILA DIAN PUSPITA A1A513043
NUR SAIDAH A1A513006
RIYAH A1A513053
SAFARIAH A1A513223
SARI ANGGRIANI A1A513093
DEVY KUSUMAWARDHANI A1A513232
DWI NOVIANI A1A513082
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suatu kota dengan segala
aktivitas yang ada di dalamnya akan mengalami perkembangan atau perubahan dari
waktu ke waktu. Aktivitas sosial, ekonomi, bahkan politik di suatu kota dapat
mempengaruhi bentuk dan struktur kota yang ada dan sudah lama terbentuk.
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan tersebut pasti membutuhkan lahan. Jika suatu
kota dibangun tanpa perencanaan yang baik maka penggunaan lahan tersebut secara
langsung akan mengakibatkan bentuk dan struktur kota yang baru, dan ini akan
berpengaruh pula pada aspek-aspek lain di dalam kota tersebut.
Perkotaan sebagai pusat permukiman dan
sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari
wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland) akan mempunyai struktur
(tata) ruang tertentu dalam rangka penyesuian terhadap fungsinya untuk mencapai
tingkat efisiensi pelayanan. Pertambahan penduduk yang meningkat pesat
memunculkan berbagai permasalahan dalam pembangunan, diantaranya adalah
meningkatnya kebutuhan akan ruang untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup
lahan budidaya, perumahan, perindustrian dan kegiatan lainnya. Upaya pemenuhan
kebutuhan yang meningkat menyebabkan tekanan terhadap ruang dan sumberdaya
alam, terutama dikarenakan perekonomian Indonesia masih sangat tergantung
kepada pemanfaatan sumberdaya alamnya (Purwoko, 2009).
Struktur ruang merupakan bagian dari
organisasi keruangan sebuah kota dan mencirikan penggunaan lahan tertentu di
kota (Bourne, 1971). Struktur ruang mempresentasikan ragam aktivitas yang
dilakukan oleh manusia di perkotaan, semakin kompleks struktur ruang mencirikan
aktivitas yang semakin bervariasi dan dinamis. Struktur kota akan selalu
berubah seiring dengan pertumbuhan kota secara sosial-ekonomi, dan membentuk
suatu organisasi keruangan tertentu yang merupakan representasi penggunaan
ruang oleh manusia (Schnore, 1971). Struktur terbentuk berdasarkan persebaran
kegiatan secara spasial (Schnore, 1971). Dalam konteks Indonesia struktur ruang
terbentuk berdasarkan susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai kegiatan pendukung sosial ekonomi
masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional (UU No. 26/2007).
Rencana tata ruang yang disusun tidak
hanya sebagai aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan kota, tetapi
juga sebagai kegiatan yang dapat menunjang tercapainya berbagai sasaran
pembangunan kota, dengan mewujudkan mekanisme prosedur yang tepat dan efektif,
terutama dalam penggunaan lahan, baik untuk kepentingan pemerintah, masyarakat,
maupun swasta.
Selain hal tersebut di atas pendekatan
operasional penataan ruang juga penting dimaksudkan untuk menghasilkan rencana
tata ruang yang mempunyai daya antisipasi tinggi terhadap perkembangan sehingga
tidak kalah cepat dengan kebutuhan pembangunan kota serta realistis,
operasional dan mampu berfungsi sebagai instrumen koordinasi bagi
program-program pembangunan dari berbagai sumber pendanaan. Dalam upaya untuk
meningkatkan pemahaman akan fenomena dan kondisi yang berkaitan dengan
geografi, sejalan dengan perkembangan dalam bidang ilmu
B. Rumusan Masalah
Adanya struktur ruang kota ini
memberikan suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan struktur ruang kota?
2. Unsur-unsur
apa saja yang ada didalam pembentukan struktur tata ruang kota?
3. Bagaimana
bentuk dan model stuktur ruang kota?
4. Teori-teori apa saja yang ada pada struktur ruang kota
5.
Bagaimana perkembangan kota dan struktur
ruangnya?
6.
Kebijakan apa saja yang terkait dengan struktur
ruang kota?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan struktur ruang kota.
2.
Untuk mengetahui unsur-unsur apa saja
yang ada didalam pembentukan struktur tata ruang kota.
3.
Untuk mengetahui bentuk dan model
stuktur ruang kota.
4.
Untuk mengetahui apa saja teori-teori
yang ada pada struktur ruang kota.
5.
Untuk lebih memahami perkembangan kota
dan struktur ruangnya.
6.
Untuk mengetahui Kebijakan yang terkait
dengan struktur ruang kota.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Struktur Ruang Kota
Kota
merupakan pusat berbagai kegiatan, seperti kegiatan ekonomi, pemerintahan,
kebudayaan, pendidikan dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti ini umumnya
dilakukan di daerah inti kota (core of city), dan disebut Daerah Pusat
Kegiatan (DPK), atau Central Business Districts (CBD). DPK berkembang
terus meluas ke arah daerah di luarnya, terbentuk daerah Selaput Inti Kota.
Adanya berbagai kegiatan di pusat kota, akan menimbulkan adanya pengelompokan (segregasi)
dan penyebaran jenis-jenis kegiatan. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti:
a.
Ketersediaan ruang dalam kota;
b.
Jenis-jenis kebutuhan warga kota;
c.
Tingkat teknologi yang ada;
d.
Perencanaan pembangunan perkotaan;
e.
Faktor geografis setempat.
Ruang adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan serta meliharan kelangsungan hidupnya. Struktur ruang adalah susunan
pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana.
Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara
hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang baik yang direncanakan ataupun tidak. Wujud struktural
pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural
berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang.
Mengingat
kota yang mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan, maka penataan ruangnya harus
melalui perencanaan yang cermat, agar tidak menimbulkan permasalahan dikemudian
hari. Perencanaan penataan ruang perlu memperhatikan aspek-aspek sebagai
berikut:
1.
Aspek sosial seperti,kependudukan,
sosial budaya, pendidikan, agama, status sosial, struktur sosial masyarakat;
2.
Aspek ekonomi seperti pendapatan per
kapita, produksi, perdagangan, pertambangan dll;
3.
Aspek fisik seperti relief, tanah dll.
Ketiga
aspek ini penting untuk penyusunan master plan dan detail plan
kota. Penataan ruang kota yang baik perlu didasarkan pada kondisi fisik,
pemerintah kota sebagai pengatur kebijakan, dan tingkat perekonomian.
Struktur ruang adalah susunan
pusat-pusat permukiman, sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana.
Semua hal itu berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara
hirarki berhubungan fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola
pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak. Wujud struktural
pemanfaatan ruang adalah susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam,
lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang secara hirarkis dan struktural
berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata ruang. Dalam suatu kota
terdapat hierarki pusat pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat kota, pusat
bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan yang ditunjang dengan sistem
prasarana jalan seperti jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal.
Struktur ruang wilayah kota merupakan
gambaran sistem pusat pelayanan kegiatan internal kota dan jaringan
infrastruktur kota sampai akhir masa perencanaan, yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan wilayah kota dan melayani fungsi kegiatan yang
ada/direncanakan dalam wilayah kota pada skala kota, yang merupakan satu
kesatuan dari sistem regional, provinsi, nasional bahkan internasional. Rencana
sturktur ruang kota mencakup: rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan
kota, dan rencana sistem prasarana kota. Rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan
kegiatan kota menggambarkan lokasi pusat-pusat pelayanan kegiatan kota,
hirarkinya, cakupan/skala layanannya, serta dominasi fungsi kegiatan yang
diarahkan pada pusat pelayanan kegiatan tersebut. Sedangkan rencana sistem
prasarana kota mencakup sistem prasarana yang mengintegrasikan kota dalam
lingkup yang lebih luas maupun mengitegrasikan bagian wilayah kota serta
memberikan layanan bagi fungsi kegiatan yang ada/direncakan dalam wilayah kota,
sehingga kota dapat menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan tujuan
penataan ruang kota yang ditetapkan.
Ilmu Struktur Ruang Kota merupakan ilmu yang membahas
tentang bagaimana pola-pola penggunaan lahan di kawasan kota. Menurut Hadi
Sabari Yunus dalam buku Struktur Ruang Kota (2000) berpendapat bahwa ada 5
(lima) kategorisasi pendekatan-pendekatan tentang penggunaan lahan kota, yaitu:
1.
Pendekatan Ekologikal (Ecological Approach).
2.
Pendekatan Ekonomi (Economic Approach).
3.
Pendekatan Morfologikal (Urban Morphological
Approach).
4.
Pendekatan Sistem Kegiatan (Activity Systems
Approach).
5.
Pendekatan Ekologi Faktoral (Factoral Ecology
Approach).
B.
Unsur-unsur
Pembentukan Struktur Tata Ruang Kota
Unsur-unsur pembentuk struktur tata ruang kota telah
dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Doxiadis, perkotaan atau permukiman kota
merupakan totalitas lingkungan yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam
(nature), individu manusia (antropos), masyarakat (society), ruang kehidupan
(shells), dan jaringan (network). Dalam perspektif yang berbeda, menurut
Patrick Geddes, karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan memiliki unsur
yaitu place (tempat tinggal); work (tempat kerja); folk (tempat bermasyarakat).
Kus Hadinoto (1970-an) mengadaptasinya menjadi 5 unsur
pokok, yaitu wisma, tempat tinggal (perumahan); karya: tempat bekerja (kegiatan
usaha); marga, jaringan pergerakan, jalan; suka, tempat rekreasi/hiburan;
penyempurna, prasarana dan sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota
dapat pula dipahami secara persepsional seperti dikemukakan oleh Kevin Lynch
yang menyatakan sifat suatu objek fisik menyebabkan kemungkinan besar membuat
citra (image) yang kuat pada setiap orang. Menurutnya ada lima unsur dalam
gambaran mengenai kota yaitu path, edge, district, node, dan landmark. Sebagai
wujud struktural pemanfaatan ruang, kota terdiri dari susunan unsur-unsur
pembentuk kawasan perkotaan secara hierarkis dan struktural yang berhubungan
satu dengan lainnya membentuk tata ruang kota. Adapun elemen-elemen yang
membentuk struktur ruang kota (Sinulingga, 2005:97) yaitu:
1.
Kumpulan dari pelayanan jasa termasuk di
dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan yang cenderung terdistribusi
secara berkelompok dalam pusat pelayanan.
2.
Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur)
pergudangan dan perdagangan grosir yang cenderung untuk berkumpul pada suatu
tempat.
3.
Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal
dari manusia dan ruang terbuka hijau.
4.
Jaringan transportasi yang menghubungkan ketiga
tempat di atas.
C. Bentuk dan model struktur ruang
Bentuk struktur ruang kota apabila ditinjau dari
pusat pelayanan (retail) terbagi menjadi tiga, yaitu (Sinulingga,
2005:103-105):
1. Monocentric City
Monocentric City adalah kota yang belum
berkembang pesat, jumlah penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu
pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi sebagai Central Bussines District
(CBD).
2. Polycentric City
Perkembangan kota mengakibatkan pelayanan oleh satu
pusat pelayanan tidak efisien lagi. Kota-kota yang bertambah besar membutuhkan
lebih dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk
kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru yang
dinamakan sub pusat kota (regional centre) atau pusat bagian wilayah kota.
Sementara itu secara berangsur- angsur berubah dari
pusat pelayanan retail (eceran) menjadi komplek perkantoran komersial yang daya
jangkauan pelayanannya dapat mencakup bukan hanya wilayah kota saja, tetapi
wilayah sekeliling kota yang disebut juga wilayah pengaruh kota.
CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat bagian
wilayah kota (regional centre) akan membentuk kota menjadi polycentric
city atau cenderung seperti multiple nuclei city yang terdiri dari:
1.
CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi
kompleks perkantoran
2.
Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu
bagian kota yang tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan
setelah berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi sebagian lagi
dilayani oleh sub pusat kota
3.
Sub pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang
kemudian tumbuh sesuai perkembangan kota
4.
Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian yang
merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani sepenuhnya oleh sub
pusat kota
5.
Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu
pinggiran kota yang secara berangsur-angsur tidak menunjukkan bentuk kota lagi,
melainkan mengarah ke bentuk pedesaan (rural area).
3. Kota Metropolitan
Kota Metropolitan adalah kota besar yang dikelilingi
oleh kota-kota satelit yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari
kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem dalam pelayanan
penduduk wilayah metropolitan. Adapun model struktur ruang apabila dilihat
berdasarkan pusat-pusat pelayanan diantaranya adalah:
1. Mono Centered
Terdiri dari satu pusat
dan beberapa sub pusat yang tidak saling terhubung antara sub pusat yang satu
dengan sub pusat yang lain.
2. Multi
Nodal
Terdiri dari satu pusat
dan beberapa sub pusat daan sub-sub pusat yang saling terhubung satu sama lain.
Sub-sub pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga terhubung
langsung dengan pusat.
3. Multi Centered
Terdiri dari beberapa
pusat dan sub pusat yang saling terhubung satu sama lain.
4.
Non
Centered
Pada model ini tidak
terdapat node sebagai pusat maupun sub pusat. Semua node memiliki
hirarki sama dan saling terhubung antara satu dengan yang lain. (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Model
Struktur Ruang
Sumber:
Sinulingga (2005)
D. Teori-teori Struktur Ruang Kota
Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang
paling dikenal adalah Teori Konsentris (Concentric Zone Theory), Teori Sektoral
(Sector Theory) dan Teori Pusat Berganda (Multiple Nuclei Theory). Ketiga teori
tersebut mengkaji bahwa setiap kota memiliki pusat kota dan biasanya dinamakan
Daerah Pusat Kegiatan (DPK) atau Central Bussiness District (CBD). Namun,
masing-masing teori menyatakan pengertian yang berlainan mengenai DPK tersebut.
Berikut ini adalah pengertian atau esensi dari DPK atau CBD menurut
masing-masing teori tersebut, antara lain:
1.
Menurut Teori Konsentris (Burgess,1925) DPK atau
CBD adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar
yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta
merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau
CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau
RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran
dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang
ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti
pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama
(storage buildings).
2.
Menurut Teori Sektoral (Hoyt,1939) DPK atau CBD
memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
3.
Menurut Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman,1945)
DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel
lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung
sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di
dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik
khusus perbankan, teater dan lain-lain (Yunus, 2000:49). Namun, ada perbedaan
dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda
terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak
selalu berbentuk bundar.
Teori lainnya yang mendasari struktur ruang kota
adalah Teori Ketinggian Bangunan; Teori Konsektoral; dan Teori Historis.
Dikaitkan dengan perkembangan DPK atau CBD, maka berikut ini adalah penjelasan
masing-masing teori mengenai pandangannya terhadap DPK atau CBD :
1.
Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori
ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel
ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan
harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan
membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau
CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin
tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi
yang paling kuat ekonominya.
2.
Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980).
Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota di Amerika Latin. Dalam
teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari
perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses
perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut.
Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika
Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain
pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian
lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.
3.
Teori Historis (Alonso, 1964). DPK atau CBD
dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah
dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi.
E. Perkembangan
Kota dan Struktur Ruang
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan
keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang
berbeda. Sorotan perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang
berbeda dan untuk menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode dalam
Daldjoeni (1996: 87), perkembangan kota dipandang sebagai fungsi dari pada
faktor-faktor jumlah penduduk, penguasaan alat atau lingkungan, kemajuan
teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial.
Sedangkan menurut Bintarto (1989), perkembangan kota
dapat dilihat dari aspek zone-zone yang berada di dalam wilayah perkotaan.
Dalam konsep ini Bintarto menjelaskan perkembangan kota tersebut terlihat dari
penggunaan lahan yang membentuk zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaaan
sedangkan menurut Branch (1995), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan
posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga
mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam bentuk
ilustrasi seperti : a) topografi, b) bangunan, c) jalur transportasi, d) ruang
terbuka, e) kepadatan bangunan, f) iklim lokal, g) vegetasi tutupan dan h)
kualitas estetika.
Berdasarkan pada penampakan morfologi kota serta jenis
penyebaran areal perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999), mengemukakan
beberapa alternatif model bentuk kota. Secara garis besar ada 7 (tujuh) buah
model bentuk kota yang disarankan, yaitu;
a.
bentuk satelit dan pusat-pusat baru (satelite
and neighbourhood plans), kota utama dengan kota-kota kecil akan dijalin
hubungan pertalian fungsional yang efektif dan efisien;
b.
bentuk stellar atau radial (stellar or radial
plans), tiap lidah dibentuk pusat kegiatan kedua yang berfungsi memberi
pelayanan pada areal perkotaan dan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai
jalur hijau dan berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi dan tempat
olah raga bagi penduduk kota;
c.
bentuk cincin (circuit linier or ring plans),
kota berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar, di bagian tengah
wilayah dipertahankan sebagai daerah hijau terbuka;
d.
bentuk linier bermanik (bealded linier plans),
pusat perkotaan yang lebih kecil tumbuh di kanan-kiri pusat perkotaan utamanya,
pertumbuhan perkotaan hanya terbatas di sepanjang jalan utama maka pola umumnya
26 linier, dipinggir jalan biasanya ditempati bangunan komersial dan
dibelakangnya ditempati permukiman penduduk;
e.
bentuk inti/kompak (the core or compact plans),
perkembangan kota biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal sehingga
memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil;
f.
bentuk memencar (dispersed city plans), dalam
kesatuan morfologi yang besar dan kompak terdapat beberapa urban center ,
dimana masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda
satu sama lain; dan
g.
bentuk kota bawah tanah (under ground city
plans), struktur perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi sehingga
kenampakan morfologinya tidak dapat diamati pada permukaan bumi, di daerah
atasnya berfungsi sebagai jalur hijau atau daerah pertanian yang tetap hijau.
Dalam perencanaan fungsional yang dikemukakan Anthony
J. Catanese bahwa bentuk kota terbentuk dari (1) tata guna lahan, (2)
pembangunan perumahan (real estate), (3) infrastruktur, (4) lingkungan, (5)
transportasi, (6) perumahan, (7) pelestarian benda-benda bersejarah, (8)
teknologi.
Melville mengemukakan bahwa secara fisik unsur-unsur
perkotaan terbentuk dari bangunan-bangunan, bangunan yang lain yang bukan
berupa bangunan gedung, jalur-jalur tranportasi dan utilitas kota, ruang
terbuka, kepadatan perkotaan, pengaruh iklim, vegetasi, kulaitas estetika, dan
perancangan perkotaan. Sedangkan secara sosial unsur perkotaan dipengaruhi oleh
besaran jumlah penduduk, komposisi penduduk, dan penduduk lanjut usia.
F.
Kebijakan
terkait Struktur Ruang
Kebijakan
Penataan Ruang Wilayah Nasional Dalam Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang disebutkan dalam arahan kebijakan bahwa muatan Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota mencakup :
1. Tujuan,
Kebijakan dan Strategi Penataan Rencana Wilayah Kota;
2. Rencana
Struktur Ruang Wilayah Kota;
3. Rencana
Pola Ruang Wilayah Kota;
4. Penetapan
Kawasan Strategis Kota;
5. Arahan
Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota (Penyediaan dan Pemanfaatan RTH, Non Hijau,
Sarana Prasarana); dan
6. Ketentuan
Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kota. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, Kabupaten Majalengka difungsikan
sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL). Dalam Pasal 1 PP No. 26/2008 pengertian
dari PKL adalah Pusat Kegiatan Lokal adalah kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan tentang stuktur ruang kota diatas, maka dapat di simpulkan bahwa:
Kota merupakan pusat berbagai kegiatan,
seperti kegiatan ekonomi,pemerintahan, kebudayaan, pendidikan dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan seperti ini umumnya dilakukan di daerah inti kota (core of city), dan disebut Daerah Pusat
Kegiatan (DPK), atau Central Business
Districts (CBD). DPK berkembang terus meluas ke arah daerah di luarnya,
terbentuk daerah Selaput Inti Kota. Adanya berbagai kegiatan di pusat kota,
akan menimbulkan adanya pengelompokan (segregasi)
dan penyebaran jenis-jenis kegiatan.
Ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan serta meliharan
kelangsungan hidupnya. Struktur ruang merupakan susunan pusat-pusat permukiman,
sistem jaringan serta sistem prasarana maupun sarana. Semua hal itu berfungsi
sebagai pendukung kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan
fungsional.
Struktur ruang wilayah kota merupakan
gambaran sistem pusat pelayanan kegiatan internal kota dan jaringan
infrastruktur kota sampai akhir masa perencanaan, yang dikembangkan untuk
mengintegrasikan wilayah kota dan melayani fungsi kegiatan yang
ada/direncanakan dalam wilayah kota pada skala kota, yang merupakan satu
kesatuan dari sistem regional, provinsi, nasional bahkan internasional. Rencana
sturktur ruang kota mencakup: rencana pengembangan pusat pelayanan kegiatan
kota, dan rencana sistem prasarana kota.
Menurut Kus Hadinoto (1970-an)
mengadaptasinya menjadi 5 unsur pokok pembentukan tata ruang kota, yaitu wisma,
tempat tinggal (perumahan); karya: tempat bekerja (kegiatan usaha); marga,
jaringan pergerakan, jalan; suka, tempat rekreasi/hiburan; penyempurna,
prasarana dan sarana.
Menurut
Sinulingga (2005:103-105), Bentuk struktur ruang kota
ditinjau dari pusat pelayanan (retail) terbagi menjadi tiga, yaitu Monocentric
City, Polycentric City dan Kota Metropolitan.
B.
Saran
Berdasarkan Teori Historis (Alonso, 1964). DPK atau
CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah
dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi. Sehingga Kota merupakan pusat dari
perdagangan baik berupa barang maupun tenaga kerja. Kota menyediakan segala
sesuatu yang di perlukan manusia untuk memenuhi kebutuhanya. Karena kota tempat
yang begitu komplek maka banyak terdapat kesenjangan didalamnya. Berbagai jenis
masyarakat menjadikan kota sebagai alternative untuk mencari mata pencaharian, masyarakat pedesaanpun
berbondong-bondong untuk pergi ke kota. Oleh karena itu, untuk mengurangi
tingkat kesenjangan bahkan kriminalitas, sebaiknya pemeritah menerapkan
peraturan yang mengikat kepada setiap individu di dalam masyarakat berupa “aturan
di larangnya perpindahan penduduk desa ke kota dan peraturan berupa larangan pembangunaan
pemukiman di pusat perkota”. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tingkat
kepadatan penduduk di perkotaan serta kesenjangan dalam masyarakatnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Adhityo, Wismo.
2008. https://wismoadhityo.wordpress.com/2008/06/11/struktur-ruang-kota/ diakses pada
tanggal 29 April 2015 pukul 08.57
Raditya, Danu.
2003. http://digilib.itb.ac.id/files/JBPTITBPL/disk1/1/jbptitbpl-gdl-s1-2003-danuradity-25-2003_ta_-1.pdf
diakses pada tanggal 29 April 2015 pukul 09.01
Suparmini, http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Suparmini,Dra.M.Si./MODUL%20DESA-KOTA.pdf
diakses
pada tanggal 29 April pukul 2015 08.55
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/605/jbptunikompp-gdl-shidiksura-30208-6-06.tab-i.pdf diakses pada
tanggal 29 April 2015 pukul 08.49
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37368/3/Chapter%20II.pdf diakses pada
tanggal 29 April 2015 pukul 08.59
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/605/jbptunikompp-gdl-shidiksura-30208-6-06.tab-i.pdf diakses pada
tanggal 29 April 2015 pukul 09.20